DEFINISI RUQYAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Ruqyah secara bahasa adalah Do'a Penjagaan.
Secara
istilah berarti sebuah terapi syar'i dengan cara pembacaan ayat-ayat
suci Al-Qur'an dan do'a-do'a perlindungan yang bersumber dari Nabi
Shollallahu 'alaihi wasallam yang dilakukan seorang muslim, baik dengan
tujuan penjagaan diri sendiri atau orang lain dari pengaruh jahat
pandangan mata ('ain) manusia dan jin, kerasukan, pengaruh sihir,
gangguan kejiwaan, berbagai penyakit fisik dan sebagainya dengan tujuan
untuk pengobatan.
Ditulis oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam
Berkata Al Fairuz Abadi dalam kamus Al Muhith bahwaا لر قية dengan didhammah artinya berlindung diri. Bentuk jamaknya adalah ر قى . Berkata Al Fayumi dalam “Al Mishbah Al Munir” ر قى رقيا dari bab ر مى yang artinya berlindung diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala.
Berkata Ibnul Atsir dalam ” An Nihayah fii Ghariibi Al Hadits ”
(2/254) bahwa Ruqyah artinya berlindung diri dimana orang yang memiliki
penyakit itu diruqyah seperti demam dan kerasukan serta
penyakit-penyakit lainnya. Disebutkan dalam “Lisan Al Arabi” (5/293): ا لعوذة (berlindung diri), bentuk jamaknya adalahر قي dan bentuk masdar (dasarnya) adalah ر قيا و ر قية و ر قيا jika dia berlindung diri dengan cara meniupkan.
Sedangkan definisi ruqyah secara istilah (syar’i) adalah
berlindung diri dengan ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir serta
doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam.
Ruqyah syar’i memiliki beberapa syarat yang disebutkan oleh para
ulama untuk membedakannya dengan ruqyah ruqyah yang bid’ah dan syirik.
Bahkan mereka (para ulama, pen) telah bersepakat tentang syarat-syarat
berikut ini : Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam “Fathul
Bari” (10/240) :
SYARAT-SYARAT RUQYAH SYAR’I
Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya meruqyah jika terkumpul 3 syarat, yaitu :
1. Ruqyah tersebut dilakukan dengan menggunakan kalamullah Subhaanahu wata’ala, dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya.
2. Ruqyah dilakukan dengan menggunakan bahasa arab atau dengan sesuatu yang diketahui maknanya dari selain bahasa arab.
3. Meyakini bahwa ruqyah itu tidak memberikan pengaruh dengan sendirinya tetapi dengan izin Allah Subhaanahu wata’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memiilki perkataan yang
sangat bagus tentang masalah ini. Beliau berkata sebagaimana yang
disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (24/277-278) : “Adapun mengobati orang
yang kerasukan jin dengan menggunakan ruqyah dan berlindung diri kepada
Allah Subhaanahu wata’ala ini memiliki 2 sisi :
- Jika ruqyah dan permintaan perlindungan diri ini dilakukan
dengan sesuatu yang diketahui maknanya dan dengan sesuatu yang
dibolehkan dalam Islam dimana seseorang boleh mengucapkan kalimat
tersebut, berdoa kepada Allah Subhaanahu wata’ala serta dzikir kepada-Nya dan Allah Subhaanahu wata’ala
membolehkan untuk melakukannya. Jika demikian keadaannya, maka boleh
bagi dia untuk meruqyah orang yang kerasukan dengan menggunakan
cara-cara ini.
Telah tsabit dalam Ash Shahih dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam membolehkan untuk meruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
من استطاع منكم أن ينفع أخاه فليفعل
” Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah.”.
- Jika dalam meruqyah itu terdapat kalimat-kalimat
yang diharamkan seperti kalimat yang mengandung kesyirikan atau kalimat
tersebut tidak diketahui maknanya dan kemungkinan mengandung kekufuran,
maka tidak boleh bagi seseorang untuk meruqyah, tidak boleh berkeinginan
keras dan tidak boleh pula bersumpah untuk menggunakan kalimat tersebut
walaupun kadang-kadang jinnya benar-benar keluar dari orang yang
kerasukan. Karena sesungguhnya apa-apa yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala dan RasulNya Shallallohu ‘alaihi wasallam itu lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata sebagaimana yang
disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (19/13): “Oleh karena itu, para ulama
kaum muslimin melarang meruqyah dengan sesuatu yang tidak diketahui
maknanya karena hal ini merupakan sebab terjatuhnya seseorang ke dalam
kesyirikan walaupun orang yang meruqyah itu tidak mengetahui bahwa itu
kesyirikan.” Beliau juga berkata dalam “Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqiim”
(1/519): “Jika makna sesuatu itu tidak diketahui, maka kemungkinan itu
adalah makna yang haram sehingga seorang muslim tidak diperbolehkan
untuk mengucapkan sesuatu yang tidak diketahui maknanya. Oleh karena itu
dibenci meruqyah dengan menggunakan bahasa Ibrani atau Suryani dan
selainnya karena dikhawatirkan di dalamnya mengandung makna yang tidak
diperbolehkan.”
Berkata An Nawawi dalam Shahih Muslim (14/141-142): “Merupakan satu
pujian jika seseorang meninggalkan untuk meruqyah dengan menggunakan
kalimat-kalimat kekufuran, meruqyah dengan kalimat-kalimat asing,
meruqyah dengan menggunakan selain bahasa arab atau menggunakan sesuatu
yang tidak diketahui maknanya. Semua ini tercela, karena ada kemungkinan
maknanya adalah kekufuran, mendekati kekufuran atau makruh. Adapun
meruqyah dengan ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir yang diketahui ini
tidak dilarang, bahkan sunnah. Sungguh telah dinukilkan ijma ulama
tentang bolehnya meruqyah dengan ayat-ayat Al Qur’an dan dzikir-dzikir
kepada Allah Subhaanahu wata’ala.
Demikian pula telah disebutkan dalam ijma ulama bahwa ruqyah itu
tidak disyariatkan jika mengandung sesuatu yang menyelisihi syariat yang
suci. Oleh karena itu, hendaknya para peruqyah diberi peringatan dengan
peringatan yang keras untuk tidak meruqyah dengan ruqyah yang tidak
disyariatkan dan berhati-hati dari meminta untuk diruqyah dengan ruqyah
yang tidak syar’i seperti ruqyahnya pada tukang sihir, dajjal dan ahli
bid’ah yang sesat.
Sumber Buku : HUKUM BERINTERAKSI DENGAN JIN
Pustaka : Ats Tsbat
SUMBER URL :