Apa itu pragmatis ? Apa itu Idealis ? Bagaimana sikap mahasiswa yang pragmatis atau idealis itu?
Pragmatis atau idealis sebetulnya adalah permasalahan klise. Sebetulnya, apakah yang
disebut dengan pragmatis itu sendiri dan apakah idealis itu sendiri?
Kadang-kadang kita melihat salah satu sikap dan jadi melabeli mereka dengan hal
itu. Tapi, di sisi lain, mereka bersikap sebaliknya.
BACA JUGA : CIRI ORANG IDEALIS
Sebagai
contoh yang marak adalah seorang mahasiswa yang terkenal sebagai aktivis
mahasiswa, membawa nama rakyat kecil, turun ke jalan, menjembatani kepentingan
rakyat dengan penguasa, dan sederet aktivitas sosial lainnya, tetapi begitu ia
lulus, ia pun bekerja di perusahaan besar, entah itu perusahaan nasional atau
malah asing. Jika perusahaan asing, siap-siap saja kata-kata cibiran muncul
dari teman-teman seperjuangan di masa kuliah. Mereka akan serta merta mencap
sebagai pragmatis. Mahasiswa idealis yang berubah menjadi pragmatis begitu
lulus kuliah.
Contoh
lainnya adalah kebalikan dari itu. Seorang mahasiswa yang dari awal pragmatis,
mentargetkan lulus kuliah cepat, dengan IPK tinggi, dan mengantongi beragam
sertifikat dari berbagai organisasi, begitu lulus langsung bekerja, bila
nyantol di perusahaan besar lebih baik, tapi jika tidak lompat-lompat dari satu
tempat ke tempat lain tidak buruk, lalu bekerja keras mencapai level yang lebih
tinggi di perusahaan, menikah, lalu punya anak dan hidup sejahtera. Itu semua
adalah rencana hidupnya, tapi begitu ia merasakan bekerja di perusahaan besar,
tiba-tiba ia menjadi berpikir: sebenarnya untuk apa aku hidup? Untuk apa aku
bekerja? Apakah semata karena kesejahteraan? Akhirnya ia pun bisa menuju jalan
yang berbalik arah, ia memilih bekerja sosial yang tidak dibayar pun tidak
apa-apa. Kalau orang bilang, mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa pragmatis yang
menjadi idealis.
Apakah menjadi pragmatis itu buruk? Apakah menjadi idealis lebih baik? Sesungguhnya menjadi pragmatis atau idealis adalah tergantung situasi. Masalahnya adalah di mana orang itu bersikap idealis dan di mana ia bersikap pragmatis. Mahasiswa mungkin tidak benar-benar menjadi pragmatis atau benar-benar menjadi idealis. Kedua sikap tersebut meski terdengar bertentangan, tapi bisa saja ada dalam diri orang yang sama.
Ketika
seseorang sedang menghadapi masalah yang butuh penyelesaian cepat, mendesak dan
penting, ia perlu memikirkan beberapa alternatif solusi. Solusi yang ideal
tentu paling baik. Tetapi apakah solusi itu bisa langsung dilaksanakan? Nah,
mungkin masih ada hambatan di sana-sini, sehingga harus bersikap pragmatis dan
sedikit demi sedikit diperbaiki menuju kondisi ideal. Kalau terus-menerus
bersikap pragmatis sebetulnya juga tidak baik, seperti menambal terus menerus
jalan aspal yang rusak tanpa memikirkan alternatif solusi kemacetan, sedangkan
kian hari manusia yang tinggal di situ, lewat, dan berkendaraan pribadi makin
bertambah, menambah beban jalan dan membuat biaya perawatan semakin tinggi.
Sekarang
ini mahasiswa sudah digiring untuk menjadi pragmatis sejak masa awal menjadi
mahasiswa. Dalam seminar-seminar atau acara-acara penyambutan mahasiswa baru
tak jarang dihadirkan senior yang sukses secara material. Pernah dihadirkan
orang yang suka demo, membantu negosiasi biaya masuk mahasiswa miskin, atau
mahasiswa sejenis itu? Kalau mahasiswa jenis itu tidak punya prestasi yang bisa
dibanggakan selain demo-demo, jangan harap mereka bisa duduk di bangku
kehormatan menyambut mahasiswa baru. Tidak hanya di dalam acara penyambutan
mahasiswa baru, di setiap kuliah, setiap dosen mendorong mahasiswanya agar
berprestasi secara akademik, secara organisasi, dan bekerja dengan baik,
mencapai karir tinggi. Dosen-dosen mendengungkan hal itu, hidup enak dan kesuksesan
secara material. Tak jarang mereka pun menghina yang berdemo, mengatai yang
suka demo nilainya jelek,mengecewakan orangtua, tidak berguna untuk masa depan
dan pandangan negatif lainnya. Hal ini bisa ditemui tidak hanya di fakultas
yang mahasiswanya jarang berdemo, tapi juga di fakultas lain, walaupun
intensitasnya lebih sedikit, tentu saja.
Lalu,
apakah berdemo salah? Bekerja di perusahaan nasional salah? Tidak ada yang
bilang demikian. Berdemo harus tau apa tujuannya. Mencapai tujuan tersebut
tentu juga banyak jalan. Jika demo memang membantu rakyat jelata, maka itulah
prinsipnya. Lakukan di mana pun dan kapan pun. Setelah lulus dari status
mahasiswa, bagaimana cara lainnya supaya bisa tetap membantu rakyat kecil?
Tentu bukan menghamba ke partai dan jadi calon anggota legislatif yang ujungnya
cuma mau gaji besar saja, tapi mengatasnamakan rakyat. Bekerja, berwirausaha,
atau menjadi peneliti adalah beberapa pilihan dan tidak bisa dibilang bertolak
belakang dari pribadi ketika masih mahasiswa. Bekerja di perusahaan asing untuk
orang yang dulunya demo mengatasnamakan rakyat kecil juga bisa berpartisipasi
dalam program CSR perusahaan, atau malah membuat program-program gebrakan baru
untuk perusahaan dalam hal bidang sosial. Bukannya malah lebih banyak yang bisa
dilakukan? Bahkan dengan posisi sebagai perusahaan, bisa juga membantu
menengahi antara pemerintah dan juga masyarakat.
Orang yang bekerja di
perusahaan apakah otomatis menjadi orang pragmatis? Tidak begitu pula.
Mahasiswa yang baru saja lulus, bisa punya prinsip untuk tidak bekerja di
tempat-tempat tertentu. Sebagai contoh, dia tidak akan mendaftar untuk bekerja
di perusahaan rokok dan anak-anak perusahaannya, jaringan supermarket yang
menjual minuman keras, perusahaan keuangan berbasis bunga semacam bank,
asuransi, pegadaian, perusahaan yang melarang menikah selama beberapa tahun,
atau perusahaan yang melarang karyawatinya berjilbab.
Kebanyakan mahasiswa
pragmatis, saking pragmatis, mau mendaftar apa saja. Ia tidak peduli perusahaan
apa saja, asalkan diterima. Bahkan tak jarang ia pun mencurangi lembar jawaban
tes, misalnya masih mengerjakan bagian sebelumnya padahal tes melarang kembali
ke soal bagian sebelumnya. Ketika ia bersikap seperti ini, lalu dia diterima,
dan berpikir pasrah, maka ia akan terus menyesali hari-harinya selama bekerja
dan selalu mengharap datangnya libur, dan ingin cepat-cepat mengakhiri kontrak
kerja.
Oleh
karena itu, sebelum memutuskan bekerja di mana, ada baiknya mencari lowongan
dan informasi, serta berbagai tips dari website. Salah satu lembaga yang
dimiliki UGM adalah ECC UGM yang menyediakan website untuk melamar
pekerjaan secara online. Banyak hal yang bisa didapat sebagai member ECC, bahkan ada konsultasi untuk yang masih bingung
memutuskan jalan hidupnya mau ke mana.
Apapun
sikap yang dipilih, sebaiknya tetap punya prinsip. Jika manusia tidak punya
prinsip dan mau praktis-praktis saja, maka tentu saja ia hanya akan jadi
seonggok boneka yang hidupnya dikendalikan orang lain, dia akan terus menerus
mengambil keputusan praktis yang menguntungkan dirinya dalam jangka pendek.
Akan tetapi, lihatlah beberapa tahun ke depan, ia akan memikirkan makna hakikat
hidup. Sebab ia selama ini hidup tanpa jiwa.
Akhir
kata, ada kutipan yang bagus sekali: Jika kamu tidak mempertahankan sesuatu,
maka kamu akan kehilangan segalanya (Malcolm X). Jika tidak punya prinsip sama
sekali, dan rela menjadi ekstrim pragmatis, maka justru sikap seperti itu akan menjatuhkan
di masa depan.