Apa saja yang termasuk ke dalam kategori idealisme dan realism
Saya
sering mendengarkan orang mengatakan hal-hal negatif mengenai orang yang
punya idealisme tertentu.
Entah itu mulai dari sindiran hingga secara terang-terangan telah banyak
ditujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kesetiaan tertentu terhadap ide
yang mereka yakini benar.
BACA JUGA : CIRI ORANG IDEALIS
Orang-orang
Indonesia, terutama sekali masyarakat perkotaan, menganggap bahwa idealisme
adalah suatu konsep yang harus ditinggalkan jauh-jauh dalam menjalankan hidup
agar mendapatkan hidup yang baik. Benarkah itu? Sebelum menilai hal tersebut
benar atau salah, ada baiknya saya sedikit jelaskan apa itu idealisme dan
realism, beserta apa saja yang termasuk ke dalam kategori idealisme dan realism
tersebut.
Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.
Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu,
tapi juga hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai idealisme yang mempengaruhi
individu contohnya adalah keyakinan mengenai pola hidup, nilai-nilai kebenaran,
gaya mengasuh anak, karir dan lain sebagainya. Sedangkan idealisme pada
tingkatan negara adalah seperti Ideologi
Pancasila, komunisme, liberalism dan masih banyak lagi.
BACA JUGA : Antara Mahasiswa Pragmatis dan Idealis
Sedangkan realisme adalah suatu sikap/pola pikir yang mengikuti
arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti lingkungannya dengan
mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia yakini. Sama dengan
idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan pikiran seseorang.
Realisme-pun tidak hanya terbatas pada individu, tapi juga pada
level-level diatasnya hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai realisme yang
mempengaruhi individu pada umumnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi.
Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada hal-hal lain seperti budaya politik,
norma reliji (sistem kepercayaan) dan banyak hal-hal lainnya.
Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa batasan tulisan ini
hanya untuk menjawab pernyataan kaum realis yang menganggap bahwa idealisme
adalah sampah kehidupan. Untuk menyederhanakan tulisan ini agar mudah ditangkap
oleh semua orang, saya akan menggunakan pendekatan perbandingan saja.
Idealisme pada dasarnya adalah perubahan, terlepas dari apakah perubahan itu baik atau buruk.
Sebagai contoh idealisme positif, ingat ketika Martin Luther menentang gereja Katolik Eropa? Banyak orang
ketika itu mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan
kenyataan-kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan
kekuatan idealisme yang luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan
gerakan reformasi (pada masa itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.
Untuk contoh buruknya, lihat idealisme yang dilakukan oleh Adolf Hitler. Dengan keyakinannya atas
buruknya kaum Yahudi dan Komunisme, dia bisa menjadi penguasa Eropa dan membinasakan
kaum Yahudi dan Komunis. Padahal ketika zamannya ketika itu, korporasi Yahudi
dan dominasi politik komunis begitu kental dilingkungannya sehingga pada
awal-awal perjuangannya Hitler justru lebih banyak mendapat hinaan dan cemooh
ketimbang dukungan. Tentu saja contoh buruk ini jangan ditiru karena justru
merupakan kemunduran dalam peradaban manusia.
Sebutlah semua pemimpin besar dunia: Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che Guevara, Soekarno,
Julius Caesar, Socrates dan masih banyak pemimpin besar dunia
lainnya yang penuh dengan idealisme-idealismenya walaupun kadang hal itu
menjadi faktor utama berakhirnya hidup mereka.
Socrates contohnya: dia bersikukuh bahwa
pemerintahan demokrasi
Athena pada kala itu adalah pemerintah yang busuk dan korup.
Walaupun banyak kerabatnya dan murid-muridnya yang membujuknya agar tidak
terlalu idealis dengan keyakinannya karena akan membahayakan nyawanya, dia
tetap saja lantang menentang demokrasi Athena. Walhasil, senat Athena
memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk hukuman mati atas penghinaannya
kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan idealismenya.
Selanjutnya adalah Soekarno.
Pada masa mudanya, Soekarno sudah terbiasa diperlihatkan pemandangan betapa
anak negeri ini (kaum pribumi) diperbudak oleh penjajah Belanda. Lingkungannya
pun (lingkungan terpelajar dan priyayi) sudah menganggap bahwa hal itu adalah
biasa. Lalu ketika dia beranjak dewasa, dia menyadari bahwa ini semua salah dan
dia mulai merawan arus “realistik” penjajahan, dan mulai mengkampanyekan
idealisme kebebasan (kemerdekaan) bangsa Indonesia.
Sebutlah
semua orang atau pemimpin besar di bumi ini, maka orang tersebut pada awalnya
selalu mempunyai idealismenya sendiri yang pada akhirnya menghantarkannya
kepada kesuksesan. Atau mungkin jika ingin menggunakan pembuktian terbalik:
coba anda carilah pemimpin atau orang besar dunia yang tidak punya idealisme,
itupun kalau anda bisa menemukannya.
Idealisme
adalah sumber perubahan.
Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini,
perubahan terjadi karena ada “kesalahan”
atas suatu hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan
keberanian untuk melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari
idealisme.
Namun
perlu diperhatikan juga bahwa idealisme tidak bisa berdiri sendiri. Idealisme
juga memerlukan realisme. Idealisme dan sikap realistik bagaikan dua sisi mata
uang yang saling melengkapi satu sama lain secara absolut. Tanpa adanya sikap
realistik, idealisme hanya akan menjadi angan-angan utopis: bagaikan mimpi
di siang bolong. Sikap idealis tanpa sifat realistis hanya akan menjadi bunga tidur
dalam kehidupan yang tidak lebih baik dari khayalan orang sakit jiwa.
Perlu
ada keseimbangan koheren antara sifat idealisme dan realistis agar menjadi
manusia seutuhnya. Sikap realistis diperlukan untuk memahami dan menginsyafi
kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis diperlukan untuk memperbaiki
atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam realita. Tidak mungkin
seorang manusia hanya mengikuti arus (realistis) selama-lamanya, atau hidup
akan menjadi statis. Tidak mungkin juga seorang manusia hanya mengutamakan
idealismenya semata dengan mengacuhkan realita kalau tidak ingin dikatakan
seorang pemimpi.
Jadi
pada kenyataannya, sikap idealis dan realis bukanlah suatu hal yang saling
berkontradiktif. Justru sebaliknya, kedua hal itu harus selaras berjalan dalam
pikiran dan sikap kita agar hidup selalu mengalami progresifitas. Keseimbangan
antara idealisme dan realism dapat menghasilkan output yang tentunya lebih baik
daripada hanya condong ke satu sisi saja.