A. Pengertian Celempungan

Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang
ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara
memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul;
kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme
serta suara yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk
mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki
suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah
lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung
kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang
dimainkan , dalam ensambel celempungan
perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter.
Selain waditra tersebut,
dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi
kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung
lebih halus dan lebih bernada.
B. Sejarah Celempungan
Waditra celempung sendiri
aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar
ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan
dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan
keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada,
dimana laras yang dipakai bisa jatuh padasalendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh
nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog,
nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum
terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan
bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan
keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat
tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Sekian jenis kesenian bambu yang ada di Jawa
Barat, salah satu yang masih bertahan adalah seni celempungan. Kesenian ini
memang terasa asing di telinga masyarakat, terutama masyarakat masa kini.
Namun, kesenian ini mampu menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat hingga
kini.

Seni
celempungan lebih terfokus paduan alat-alat musik tradisional, seperti kendang,
gong, kenong, suling, toleat, dan sebagainya. Namun, celempungan yang diangkat
kali ini adalah sebuah alat musik yang terbuat dari bambu.
Menurut salah seorang pemain dan pencipta
celempungan awi, Kang Dadang atau Ki Utunz, celempungan ini terbuat dari bilah
bambu buluh atau awi gombong. “Pokoknya, awi yang bisa digunakan untuk dibuat
alat musik celempungan ini harus awi yang berbatang besar. Lain dari itu, tidak
bisa digunakan,” ungkap Ki Utunz yang ditemui di sela-sela pementasan Bandung
Blossom atau puncak HUT ke-198 Kota Bandung di Jln. Merdeka Bandung, Sabtu
(6/12).
Meski sudah lama memainkan dan membuat alat
musik celempungan, Ki Utun tidak tahu sejak kapan alat musik ini mulai
digunakan oleh masyarakat Sunda. Yang pasti, katanya, celempung menggantikan
suara gong. Hal ini berdasarkan suara yang dikeluarkan dari alat musik ini,
yakni “neng gung” (gong).
“Mungkin ketika itu gong yang sering
digunakan dalam celempungan rusak, sehingga diganti dengan alat yang terbuat
dari bambu,” katanya.
Bedanya, gong yang terbuat dari tembaga
berbentuk bulat dan ada bulat cembung di tengahnya. Sedangkan gong yang terbuat
dari bambu berbentuk panjang bulat dan ada beberapa senar bambu. Panjangnya
tidak lebih dari satu ruas bambu yang dibentuk dan diraut sedemikian rupa dan
diberi senar awi.
“Itulah kamonesan urang Sunda, bisa membuat
goong (gong) terbuat dari bambu. Namun hanya sebagian kecil urang Sunda yang
bisa membuat gong dari bambu,” paparnya.

Cara penyajian kesenian celempungan hampir sama dengan kiliningan dan degung. Waditra celempungan terbuat dari awi gombong (bambu yang diameter tabungnya besar) yang disebut
celempung. Selain waditra celempung, dalam celempungan diikutsertakan pula dua
buah kecapi (kacapi indung dan kacapi anak), rebab, tarawangsa atau kadang-kadang suling dan goong buyung (gong duduk atau komodong). Lagu-lagunya pun seperti lagu-lagu pada gamelan
salendro/pelog dalam kiliningan atau degungBiasanya alat musik
celempungan dimainkan dengan alat musik bambu lainnya, seperti karinding dan
toleat, yang ternyata mampu menarik perhatian masyarakat. Selain suara musiknya
yang terbilang aneh, alat musiknya pun sangat langka. Terlebih celempungan
buatan Ki Utunz jumlahnya lebih dari satu, sekitar delapan. Sehingga, bunyinya
pun sangat menarik dan mempunyai nada yang berbeda.
Sedangkan alat musik karinding yang biasa
dimainkan para petani di saung untuk mengusir hama burung manakala bulir padi
sudah menguning. Penampilan musik karinding diiringi alat musik celempungan
yang juga merupakan buluh bambu yang dipukul dengan alat pukul yang terbuat
dari karet, cukup mencuri perhatian, karena dianggap aneh dan menarik.
Musik tradisional yang terbuat dari
buluh-buluh bambu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan
masyarakat di Jabar (suku Sunda). Sebagai indungna seni, musik angklung
mewarnai riak kehidupan manusia, terutama di lingkungan pedesaan.
Sejak bayi dalam kandungan hingga dilahirkan
dan dibesarkan dan berumah tangga, musik angklung selalu mengiringi lewat
upacara adat maupun kaulinan dan hiburan urang lembur.
Kekayaan alat musik tradisi dari bambu,
seperti angklung, calung, suling, toleat, celempung, karinding, awi sada,
bangkong reang, dan lainnya, yang jumlahnya mencapai 114 jenis, tidak hanya
turut memperkaya khazanah musik Tanah Air, tapi juga turut menjadi bagian
kekayaan musik etnik dunia.
C.
Kandungan Nilai Musical
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai
bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat
masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga
celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan
ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk
bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni
pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang
walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah
hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi.
Dan untuk pemerintah dukungan moril
mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar
lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai
dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris,
mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas
batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan
estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya
sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
Namun sangat disayangkan, alat musik bambu
tersebut baru kita rasakan sebagai milik kita setelah ada pengakuan dari negara
lain. Selama ini seakan tidak ada daya upaya untuk turut serta melestarikan dan
mengembangkannya agar negara lain tahu kalau musik bambu tersebut merupakan
milik kita (Indonesia).
Dalam
perkembangannya saat ini, keberadaan alat musik bambu kurang menarik minat anak
muda. Hal itu lebih banyak disebabkan kurangnya kesempatan bagi seniman dalam
berkreasi dan menampilkan kemampuannya. Bahkan, saat ini tidak hanya alat-alat
musik serta kesenian dari bambu yang kurang diminati, tetapi juga para perajin
bambu.
Celempungan adalah musik tradisional Jawa Barat yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Purwakarta. Celempungan dapat disaksikan dalam acara-acara hajatan
seperti pernikahan, khitanan atau pesta kenegaraan serta upacara-upacara
lainnya yang dianggap penting.
Istilah celempung merupakan tiruan dari suara percikan
air yang dimainkan oleh para gadis desa ketika mereka mandi di sungai.
Mereka biasanya memukul-mukulkan tangannya ke permukaan air sungai sehingga
menimbulkan bunyi clem pung, clem
pung bersahut-sahutan. Mereka melakukan ini ketika mandi
sambil bersenda-gurau bahkan sambil diselingi nyanyian. Orang desa menyebut
perbuatan memukul-mukul permukaan air ini sebagaiicikibung.
Tabung awi gombong atau kayu jenis tertentu yang
berdiameter 20 cm dan panjang 40 cm tersebut ujung bagian atasnya (beungeut atau mukanya) dibentangi dua buah
dawai (senar) yang terbuat dari rotan atau sejenisnya. Kedua dawai tersebut
dihubungkan dengan sumbi yaitu
sepotong kayu yang berukuran 1 x 3 x 5 cm yang ditempatkan pada nawa (lubang pada muka celempung). Bagian
pinggir salah satu dinding tabung celempung tersebut diberi lubang untuk
pengatur dan pengolah suara. Mengatur dan mengolah suara ini dilakukan oleh tangan
kiri karena tangan kanan memegang pemukul.
Sebagai penegang atau pengencang dawai, di ujung tabung
tersebut diletakkan tumpangsari atau inang yang
merupakan pengatur nada. Celempung ini berfungsi sebagai kendang pada kesenian
celempungan seperti halnya fungsi kendang pada kiliningan atau degung kawih.
Cirikhas kesenian Sumedang yaitu Celempungan adalah grup musik yang
merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat
musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang
resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya
mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang
Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempung-nya sudah diganti oleh kayu
yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari
besi.
istilah celempung merupakan tiruan dari suara percikan
air yang dimainkan oleh para gadis desa ketika mereka mandi di sungai.
Mereka biasanya memukul-mukulkan tangannya ke permukaan air sungai sehingga
menimbulkan bunyi clemÂ
pung, clem
pung bersahut-sahutan. Mereka melakukan ini ketika mandi
sambil bersenda-gurau bahkan sambil diselingi nyanyian. Orang desa menyebut
perbuatan memukul-mukul permukaan air ini sebagai icikibung.
E.
Analisis Musicalitas
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah
dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang
sudah ditambah dengan waditra lain. Kata “ngan”
menganalogikan adanya penambahan fungsi waditradengan
maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya
adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika
alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan
cara memukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau
kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra
kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh
pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa
fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini
seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada
tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum
terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan
bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan
keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat
tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang
dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung
ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung
lahir begitu juga celempungan, karena
dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang
merujuk hal ini.
Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil
terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena
hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya
yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi
yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu ciri seni
agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara
karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah
terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
# pengertian #celempungan #adalah #makalah celempungan #seni celempungan
# pengertian #celempungan #adalah #makalah celempungan #seni celempungan